Kreativitas atau Pelanggaran? Mahasiswa ITB Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Terancam 12 Tahun Penjara
Meme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya internet modern. Dengan humornya yang ringan dan sering kali menyentil berbagai isu sosial, politik, hingga budaya populer, meme menjadi cara efektif untuk menyampaikan pesan secara singkat namun berdampak besar. Namun, tidak semua meme diterima dengan baik, bahkan bisa berujung masalah hukum. Baru-baru ini, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) mendapati dirinya terjerat masalah hukum karena membuat meme yang dianggap menyinggung tokoh politik terkenal, Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi).
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula ketika mahasiswa tersebut, yang identitasnya belum dipublikasikan demi alasan privasi, membuat dan menyebarkan meme yang berisikan gambar serta teks yang dianggap menyinggung dua sosok penting dalam politik Indonesia, Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo. Meme tersebut viral di berbagai platform media sosial, termasuk Twitter, Instagram, dan TikTok, dengan cepat menyebar ke jutaan pengguna.
Namun, pihak kepolisian menganggap meme tersebut melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Jika terbukti bersalah, mahasiswa tersebut terancam hukuman penjara hingga 12 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Mengapa Meme Ini Menjadi Masalah?
Meme sering kali dianggap sebagai bentuk satire atau kritik sosial yang sah dalam demokrasi. Namun, dalam kasus ini, beberapa alasan membuat meme tersebut dianggap melanggar hukum, antara lain:
- Pencemaran Nama Baik – Meme tersebut dianggap merusak reputasi kedua tokoh politik.
- Ujaran Kebencian – Meme tersebut dinilai mengandung unsur penghinaan atau provokasi yang bisa memecah belah masyarakat.
- Penyebaran Hoaks – Jika meme tersebut memuat informasi palsu atau menyesatkan, hal ini bisa memperparah situasi hukum yang dihadapi.
Reaksi Publik dan Komunitas Mahasiswa
Kasus ini langsung menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, termasuk ITB sendiri, menyuarakan kekhawatiran tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Mereka menilai bahwa penggunaan UU ITE dalam kasus ini bisa membungkam kritik yang sah dan mempersempit ruang demokrasi.
Selain itu, beberapa aktivis dan organisasi hak digital seperti SAFEnet juga turut menyuarakan keprihatinan mereka. Menurut mereka, undang-undang yang terlalu luas cakupannya ini bisa dengan mudah disalahgunakan untuk menekan kritik terhadap pemerintah atau tokoh politik.
Aspek Hukum yang Diperdebatkan
Banyak ahli hukum berpendapat bahwa Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE sering kali digunakan secara berlebihan untuk menghukum kritik yang seharusnya sah dalam konteks demokrasi. Beberapa poin yang menjadi sorotan adalah:
- Definisi yang Tidak Jelas – Pasal tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dianggap terlalu kabur dan mudah disalahgunakan.
- Efek Dingin (Chilling Effect) – Kasus ini bisa membuat masyarakat takut untuk menyuarakan pendapat mereka secara online.
- Proses Hukum yang Tidak Transparan – Kurangnya transparansi dalam penanganan kasus serupa sering menjadi keluhan masyarakat.
Apa Langkah Selanjutnya?
Saat ini, mahasiswa tersebut masih menjalani pemeriksaan oleh pihak berwenang. Beberapa organisasi mahasiswa dan kelompok advokasi sedang mempertimbangkan untuk memberikan bantuan hukum kepada mahasiswa tersebut guna memastikan bahwa proses hukum berjalan adil.
Selain itu, ada seruan untuk merevisi UU ITE agar lebih jelas dalam mendefinisikan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, sehingga kasus serupa tidak terus berulang dan mengekang kebebasan berekspresi.
Kasus mahasiswa ITB pembuat meme Prabowo-Jokowi ini menjadi pengingat penting bahwa kebebasan berekspresi di dunia digital memiliki batasan yang sering kali tidak jelas. Di satu sisi, masyarakat berhak menyuarakan kritiknya, namun di sisi lain, hukum tetap harus dihormati untuk menjaga ketertiban dan mencegah penyebaran informasi yang merusak.
Dalam era digital seperti sekarang, peran masyarakat, pembuat kebijakan, dan penegak hukum sangat penting untuk menciptakan ekosistem online yang sehat dan aman tanpa mengorbankan hak dasar seperti kebebasan berpendapat. Semoga kasus ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki regulasi yang ada dan memperjelas batas antara kritik yang sah dan ujaran kebencian.